Cari di Sini

Sabtu, 07 November 2009

Dua Pilihan untuk Pulau Jawa, Jadi Kota Pulau atau Gurun Pasir

Akibat tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat, dan makin menciutnya kawasan hutan untuk keperluan permukiman, industri, pertanian, dan prasarana jalan dan pembangunan lainnya, keadaan lingkungan di Pulau Jawa semakin mencemaskan.


Dibandingkan dengan kawasan luar Jawa, sudah sejak lama di Jawa terjadi ketidakseimbangan yang tidak wajar antara membengkaknya kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian di satu sisi dengan makin menciutnya kawasan hutan di sisi lain. Beberapa pengamat lingkungan di mancanegara, khususnya di Belanda, memprediksi bahwa pada suatu saat kelak Jawa bisa berubah jadi pulau kota, yang sama sekali tidak memiliki kawasan hutan. Atau lebih buruk dari itu, Jawa bisa menjadi pulau kota yang terdiri dari kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian yang terus membengkak hingga makin menciutkan wilayah hutannya.

Dan tidak mustahil pula Jawa bisa berubah jadi sebuah gurun pasir dari ujung ke ujung. Seperti gurun yang ada di sekitar Puncak Bromo dan Tengger di Jawa Timur! Lihat saja apa yang tengah terjadi pada kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Daerah yang kini dikenal sebagai Jabotabek ini telah menjadi demikian semrawut, tumpang-tindih satu dengan yang lain. Sangat memusingkan. Bayangkan seandainya keempat kota yang hampir berhimpit-himpitan dan masing-masing terdiri dari kawasan-kawasan permukiman, industri dan pertanian
itu bakal jadi kota-kota padang pasir, karena kawasan hutannya - terutama yang masih tersisa kawasan Bogor - bakal melenyap dilalap jadi kawasan-kawasan industri dan permukiman. Tidak adanya rem yang dapat mencegah terjadinya musibah longsor, banjir, akibat tidak adanya usaha-usaha konkret untuk mencegahnya, membuat kita tidak berani membayangkan keadaan lingkungan di Pulau Jawa pada tahun 2020.
Kenapa Pulau Jawa yang sempat dicatat sebagai pulau paling subur di dunia, berkat deretan gunung apinya harus kita biarkan ”tenggelam” akibat kehabisan daya dukung untuk dihuni oleh lebih dari separuh dari 200 juta penduduk Indonesia. Padahal luas Jawa cuma beberapa persen dari seluruh wilayah Indonesia.


Apa para ahli perencanaan kawasan, para perancang kota dan para ahli tata ruang kita belum cukup mampu menjadikan Jawa, pulau paling subur di dunia mampu meningkatkan produktivitasnya sehingga bisa menghidupi penduduknya dengan layak? Kenapa kita begitu bangga membengkakkan Jakarta jadi Jabotabek, sehingga Jakarta ibarat ”mencaplok” tiga kota sekitarnya, yakni Bogor, Tangerang dan Bekasi. Tanpa cetak biru atau rancangan dengan pendekatan ilmiah profesional yang sesuai dengan perkembangan zaman.


Tiadanya sebuah rencana induk Pulau Jawa yang dirancang dan dikendalikan secara komprehensif dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan mengakibatkan lingkungan Pulau Jawa jadi porak-poranda seperti adanya sekarang. Bukankah seharusnya ada suatu rencana nasional terhadap Pulau Jawa (demikian pula halnya terhadap daerah lainnya) yang dirancang dengan mengintegrasikan segala kemampuan intelektual dan teknologi yang dimiliki oleh semua departemen dan kantor kementerian negara terkait? Melalui suatu rancangan pengelolaan lingkungan yang komprehensif kita bisa menyembuhkan penyakit-penyakit seperti petaka banjir, tanah longsor dan penciutan kawasan hijau. Sebaliknya jika kerusakan itu terus dibiarkan hal itu merupakan ”tindakan bunuh diri” terhadap kita sendiri sebagai bangsa.


Kita tidak bisa menutup mata bahwa berbagai kejadian yang makin parah seperti penebangan hutan, banjir, dan tanah longsor makin sering terjadi pada tahun-tahun transisi dan krisis multidimensi selama hampir sebelas tahun terakhir. Orang awam pun tahu, makin merosotnya keadaan lingkungan Indonesia adalah akibat ledakan angka pengangguran yang pada gilirannya makin meningkatkan kemiskinan, seperti sedang kita alami saat ini. Namun nyaris tak seorang pejabat pun, bahkan tidak juga para ahli, apalagi para politisi tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu, kecuali bermanis-manis.
Ibarat pepatah ”bertanam tebu di bibir” padahal keadaan di seantero Tanah Air tidak kunjung membaik. Seakan-akan mereka beranggapan bahwa dengan sekadar memberikan pernyataan politik atau ”menganalisis” permasalahannya persoalan sudah terpecahkan. Kita bersukur, bahwa gagasan untuk menyewakan pulau dari pemerintahan yang lalu kini dinyatakan ”tidak laku” di beberapa daerah. Walaupun tetap saja ada provinsi, seperti misalnya Riau, yang begitu getol mengekspor pasirnya ke Singapura untuk digunakan mengurug (reklamasi) negara pulau itu agar dapat digandengkan dengan pulau-pulau kecil sekitarnya. Kabarnya, selama 10 tahun mendatang Provinsi Riau akan mengekspor miliaran meter kubik pasir ke Singapura, hanya dengan harga kurang dari tiga dolar per meter kubiknya.
”Kebijakan lingkungan” apa lagi yang bakal menyusul, sesudah kita dengan sadar dan sengaja merusak hutan tropik, hutan bakau, dan terumbu karang di seantero Tanah Air? Bagaimana cara mengatasi kemerosotan mutu lingkungan hidup di seluruh Tanah Air, khususnya di Pulau Jawa, agar terhindar dari kemungkinan jadi gurun pasir?

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/11722

1 komentar:

Apakah anda setuju bahwa pemanasan global memang sedang terjadi?

Powered By Blogger